“Akan Ada Cinta yang Lainnya”
Aku
ingin merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Ya… setidaknya pernah mencintai
dan dicintai oleh seseorang. Katanya cinta itu manis, indah dan menebarkan
pesona-pesona kebahagiaan. Konon pula cinta itu menyengsarakan. Bunuh diri
akibat cinta adalah salah satu contohnya.
Tapi,
kenyataannya cinta itu tidak pernah dating dan menyapaku. Entah itu cinta manis
atau pahit sekalipun.
***
Pagi
itu, kuusap lagi, kubuka lagi, mataku yang telah terpejam semalaman menjelajahi
dunia mimpi. Kuhirup lagi udara segar dengan embun-embun pagi yang berserakan
di rerumputan hijau yang ada diluar jendela, disekitar kamar galauku, terlihat
bermacam burung yang terbang dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon yang
lain, sambil berkicau mereka mencari makan.
“Dika...
bangunlah, sudah ja 6 pagi, kamu harus mengantar Ibu kepasar” seperti itulah
kira-kira yg diucapkan Ibuku.
“Iya
Bu, aku mandi dulu” sahutku sambil mencoba bangkit dari kasurku.
Kuberanikan
diriku, kupaksakan langkah kakiku menuju kamar mandi, kuayunkan tanganku untuk
mencibuk air bak dan menyiramkannya ke tubuhku yang telah lebih dulu
kedinginan.
***
Setibanya
dipasar, aku memarkir sepeda motorku. Sementara itu, Ibu perlahan-lahan
menyayunkan kakinya memasuki gerombolan orang-orang hingga aku tak bisa lagi
melihatnya karena tertutup oleh keramaian. Aku hanya duduk diatas sepeda motor
petualangku sambil memaikan game di gadgetku. “Hey kamu yang pakai baju merah
disitu,tolong kemari!!” ucap seorang wanita yang memancingku untuk menoleh
kearah suara tersebut.
“Aku?”
jawabku dengan nada dan tampang yang terbego-bego.
“Iya
kamu, bisa kesini sebentar?”
“Baiklah,
tunggu...” sambil mematikan gadget aku mendekatinya.
Dengan
semangat aku mendekatinya karena dia berparas cantik, kulitnya putih, matanya
berwarna keabu-abuan, rambutnya panjang lurus alami tanpa rebonding. “Bisa kamu
bantu aku untuk mengeluarkan motorku?” katanya sambil menunjuk kearah sepeda
motor yang letaknya berada ditengah-tengah sepeda motor lainnya.
Sebagai
seorang laki-laki sejati yang tidak suka sesama laki-laki tapi menyukai lawan
jenis dari laki-laki, kusingkirkan satu persatu motor yang menghalangi motornya
sampai membentuk suatu jalan agar motornya bisa keluar dari lahan parkir yang
paling menyebalkan diantara lahan-lahan parkir menyebalkan lainnya.
“Makasih
yaa...” katanya kepadaku dengan wajah unyu-unyu alay seperti cewek-cewek
sebangsanya.
“Iya,
sama-sama” sambil tersenyum goblok aku menatapnya yang kian menjauh dari
tempatku berdiri daaaaaannnn......... “WOY!!” terdengar kencang suara
menyerupai seorang perempuan, mungkin Ibu-ibu yang sudah mempunyai anak dan mungkin
anaknya itu bego, dan begonya lagi dia itu adalah Ibuku sendiri.
“Ngapain
kamu senyum-senyum sendiri? Naksir sama tukang parkir? Jadi selama ini kamu
homo?” kata Ibuku.
“Alah
Ibu, mana mungkin anakmu naksir sama tukang parkir, mana mungkin juga aku homo,
alah bodoamat banget dah, mending kita pulang” sahutku sambil mengalhkan
pembicaraan.
“Yaudah,
nih pegang belanjaannya...”
***
Aku
terdiam dalam lamunanku, lamunanku yang membuatku terdiam, terdiam karena
lamunanku. Mengapa aku melamun? Melamunkan siapa diriku? Aku tidak tahu, aku
tidak sempat menanyakan namanya saat ditempat parkir tadi. Jujur, tidak ada
sedikitpun terlintas dibendakku untuk
menanyakan namanya, nomer handphone nya, nama akun facebooknya, akun
friendsternya, akun twitternya, atau sejenisnya. Aku tidak tahu, aku hanya
terdiam dengan rasa sesal. Aku juga tidak tahu mengapa aku terus saja
memikirkannya. Apakah cinta yang membuatku begini? Apakah sekarang cinta telah
menghampiriku? Apakah ini cinta manis? Ataukah cinta pahit? Ah sudahlah...
***
Hampir
dua pekan berlalu. Malam ini malam minggu, rembulan tersenyum, menyapa dengan
lembutnya, naun belum bisa menerangi hatiku yang kini sedang kalut. Rasa
penyesalan atas kejadian dua inggu yang lalu masih membekas dihatiku.
Kutelusuri lika-liku jalan kota ini, sambil menikmati indahnya cahaya bulan dan
kerlap-kerlip bintang yang menyempurnakan keindahannya. Tanpa sengaja aku
melihat sebuah kafe yang lumayan ramai oleh kalangan ABG sepertiku. Kuhentikan
motor kampretku, kuletakkan disamping motor matic berwarna putih yang telah
terparkir lebih dulu. Kuperhatikan sejenak motor itu, “Entah ini perasaanku saja, atau ini memang kenyataannya, kayanya aku
pernah melihat motor persis seperti ini sebelumnya, tapi dimana...” Ucapku dalam hati.
Lupakan
tentang motor itu. Aku melangkah menuju pintu masuk kafe tersebut, menuju meja
kosong yang kebetulan ada disebelah kananku. Belum sampai aku menuju ke meja
itu, terdengar suara “Hey!!” yang tidak tahu dari siapa dan ditujukan untuk
siapa. Aku berbalik badan melihat kebelakang, ingin mengetahui apakah dia
memanggilku. Aku melihatnya, seorang wanita yang melambaikan tangan kearahku.
Aku
pernah melihat wanita ini sebelumnya, siapa dia? Ya.. benar, dia adalah wanita
yang dua minggu lalu bertemu denganku di tempat parkir dan memaksaku untuk
menjadi tukang parkir dadakan.
“Duduk
disini saja” katanya sambil tersenyum kearahku.
Aku
duduk berhadapan dengannya, berbelakangan dengan kasir. “Oh iya... nam......”
bicaraku terpotong oleh pelayan kafe yang menawarkan pesanan untukku.
“Mau
pesan apa mas?” ucapnya.
“Emmm...
vanilla latte, ada?”
“Ada,
tunggu sebentar ya mas” kata si pelayan sambil menuju ke belakang mengambilkan
pesananku.
Kembali
aku mau menanyakan nama wanita yang saat ini berhadapan denganku. Belum selesai
aku mengucapkannya, pelayan kampret itu datang memotong perkataannku denganj
membawa vanilla latte pesananku.
Kuminum
dengan perlahan kopi yang tadi aku pesan. Aku ingin menanyakan nama wanita ini
yang dari tadi hanya tersenyum manis melihat mukaku yang kesal dengan pelayan
itu. Namun, handphone nya berbunyi sebelum aku menanyakan namanya, dia
mengangkatnya dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata untukku.
Dia menuju keluar, ada laki-laki yang menunggunya disana, dia menghampirinya.
Mungkin itu adalah laki-laki yang tadi menelponnya. Apakah itu pacarnya? Aku
terlalu bodoh untuk cinta dengan orang yang sudah punya pacar. Dan bodohnya
lagi, pesanan wanita itu belum dibayar. Aaaahhhh, bodoh banget.
Sekitar
15 menit aku menikmati kopi hangatku. Aku tidak tahu harus kemana lagi, ketika
aku berdiri dari kursiku, aku melihat secarik kertas bertuliskan angka-angka
yang ditindih piring bekas kentang goreng, mungkin nomer handphone. Aku
mengambilnya.
“Tok..tok..tok..”
ku ketuk pintu rumahku, aku memasuki setelah Ibuku membukakannya. Termenung
diriku dalam sepinya malam minggu yang membosankan ini. Otakku kembali terpikir
pada wanita itu. Hanya dia, dia, dia dan dia yang ada di pikiranku kini.
Sampai-sampai aku tertidur dengan sendirinya dalam lamunanku.
***
Pagi
yang cerah, diselimuti oleh kabut yang mulai menipis, matahari menyambut
dinginnya pagi ini yang mengingatkanku kembali tentang seorang wanita yang
kutemui tadi malam. Rasa penasaran pun muncul. Penasaran dengan namanya,
penasaran dengan nomer handphone yang tertulis di secarik kertas yang bertindih
di bawah piring kentang goreng.
Kutekan
satu persatu nomer handphone yang ada dikertas itu, aku mencoba menghubunginya.
Terhubung.
“Halo...” kataku.
“Iya,
halo. Siapa ya? Apa kamu yang di kafe tadi malam?”
Rupanya
memang benar bahwa ini adalah nomer handphone nya, tapi kok bisa dia
meninggalkannya untukku, sedangkan dia sudah mempunya pacar.
“Hey,
kok diam?” tanyanya.
“Eh,
iya itu aku. Namaku Dika, siapa namamu?” sahutku sedikit terkejut.
“Oh
Dika yaaa... Namaku Adel, salam kenal ya”
“Iya,
malam ini kosong nggak?” tanyaku.
“Iya
nih, emang kenapa?” Adel balik bertanya.
“Nggak
kok, mau ngajak jalan doing nih. Gimana? Mau nggak?”
“Emm...
gimana yaaa... okedeh”
YES!!
Ucapku dalam hati karena saking senangnya bisa jalan sama dia. “Baiklah, nanti
malam jam 8 aku kesana”
***
Sekitar
pukul 7.45 malam, aku berangkat menuju kafe yang sudah aku dan Adel janjikan. Aku
bersama temanku, namanya Rian. “Hey Dika!!” seketika langkahku terhenti, aku
dan Rian menengok ke samping dan ternyata itu Adel. “Eh, Rian? Kok disini juga?”
sambung Adel dengan sedikit kebingungan. Rupanya mereka sudah saling kenal?
“Dika!!
Jadi ini wanita yang kamu ceritakan? Ini Adel, dia pacar gue, bangsat banget lu”
Rian membentakku daaaaannn.............
***
Dimana
aku? Kulihat disekitar, disekelilingku banyak terdapat poster-poster tim bola
kesukaanku dengan cat tembok berwarna merah. Ya.. ini kamarku. “Apakah aku
bermimpi? Syukurlah” kataku dalam hati sambil mengusap air keringat yang ada
disekitar wajahku.
AW!!
Terasa sakit saat kupegang pipiku yang sedikit memar setelah kulihat di cermin.
Ternyata ini bukan mimpi. Setega inikah aku? Yang hamper saja
berkencan dengan pacar temanku sendiri?
Selang
beberapa menit, Rian dan Adel masuk ke kamarku. Aku terkejut. Untuk apa mereka
berduua kesini? Untuk apa Rian kesini? Apakah dia belum puas memukuliku?
“Dika,
gue mau minta maaf atas kejadian tadi malam. Gue emosi dan gue harap lo ngerti.
Adel pacar gue, sedangkan gue sahabat lo. Lo nggak mungkin kan nikung pacar
sahabat lo sendiri?” kata Rian.
“Iya,
gue juga minta maaf, kalo gue tau Adel itu pacar lo, gue juga nggak bakalan
ngedeketin dia, maaf.” Jawabku sambil mengulurkan tangan dan bersalaman
dengannya.
***
Dua
bulan kemudian. Aku sudah mulai bisa melupakan Adel, luka memar akibat pukulan
Rian juga sudah menghilang. Hebatnya lagi, aku sekarang sudah punya pacar.
Namanya Dwita. Aku dan Dwita menjalin hubungan dengan baik, begitu juga dengan
Rian dan Adel. Dari kejadian ini, intinya cinta itu memang ada, cinta pasti
akan datang pada manusia, pasti. Hanya waktunya saja yang kadang membuat cinta
datang terlambat.
Real writed by: Fathurrahman
FOLLOW TWITTER SAYA DISINI!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar